.::Thanks for Your Visit::.

Saturday, February 6, 2010

Makanan Ala daerah Untuk perayaan Imlek dan CAp Go Meh

Dalam tiap daerah nya masing -masing seperti yang kita ketahui banyak sekali etnis China di tiap daerah..Pulau Jawa,Bali, Sumatera,Sulawesi,Kalimantan,Dll...
Biasanya makanan-makanan tiap daerah tersebut pun sudah khas dan berbaur dengan makanan daerah masing-masing...seperti contohnya di daerah kelahiran saya Semarang,Jawa Tengah.
Salah satunya adalah Lontong Cap Go meh...karena tiba-tiba terpikir oleh saya,maka saya coba ncari info tentang Lontong yang satu ini..



Asal Usul Lontong Cap Go Meh

Di Jawa terutama, dikenal dengan menyajikan hidangan khas lontong cap go meh. Sementara di Kalimantan, mungkin yang dari Pontianak atau Bangka sendiri bisa menceritakan lebih detail. Di Medan juga lain lagi, sembahyang di kelenteng mendominasi kegiatan di malam Cap Go Meh ini. Kemudian disambung dengan atraksi barongsai, dan lontong cap go meh sendiri sudah mulai menyebar di beberapa bagian di Nusantara ini. Bahkan makanan ini sudah jadi paten namanya di mana-mana, menu di resto, warung, bahkan foodcourt di mall-mall akan seragam semua namanya: “lontong cap go meh”, padahal dimakan setiap saat, bukan pas cap go meh. Sepengetahuan saya, di Kalimantan perayaan Cap Go Meh tidak dengan menyajikan makanan ini.

Semua referensi baik buku kuno, sejarah Semarang, situs-situs kuliner, Google dibolak-balik, Wikipedia ditelusuri, tapi tidak ada satu pun yang menceritakan sejarah atau asal usul lontong cap go meh. Semua website hanya menampilkan sajian lontong cap go meh dan pernik-perniknya. Saya mencoba untuk menebak dan mengira-ngira latar belakang asal usul lontong cap go meh.

Jejak langkah imigran pertama dari China diperkirakan hampir sama tuanya di Nusantara ini, tapi jejak langkah aktifitas dan peninggalan orang Tionghoa di Indonesia, diperkirakan di kisaran tahun 1400’an. Laksamana Cheng Ho yang membawa pasukan perdamaian menurut catatan sejarah singgah ke berbagai kota di Indonesia ada sebanyak 7 kali. Referensi mulai dari yang ilmiah oleh Gevin Menziez: 1421 The Year China Discovered The World, sampai yang fiksi sejarah Remy Sylado: Sam Po Kong, menunjukkan bahwa asimilasi pendatang dan penduduk asli sudah berjalan dengan mulus tanpa adanya paksaan, tanpa adanya “program pembauran”, tanpa adanya politik dsb.

Pembauran ini alamiah, wajar dan manusiawi. Umumnya para perantau ketika itu, mulai dari panglima pemimpin rombongan pasukan perdamaian, sampai dengan jongos kapalnya 99,9% jelas laki-laki. Seperti banyak diketahui bahwa Laksamana Cheng Ho sendiri (yang kemudian dikenal sebagai Sam Po Kong) adalah seorang kasim alias sida-sida (orang kebiri) kerajaan Ming, orang kepercayaan Kaisar Yong Le. Dengan mayoritas laki-laki, pada masa itu (juga sekarang rasanya), jamak jika singgah atau berlabuh di satu negeri asing nun jauh di antah berantah, mereka berusaha menyalurkan insting alaminya, baik dengan cara “quick & short” ataupun “long term relationship”. Sebagian dari para awak kapal muhibah ini ada yang tinggal karena membangun rumah tangga dengan penduduk setempat, ada yang terpaksa tinggal karena sakit (seperti jurumudi Laksamana Cheng Ho, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Juru Mudi yang juga dihormati di Kelenteng Sam Po Kong Semarang sampai sekarang), ada yang karena pesakitan alias residivis yang memilih melarikan diri, membaur dengan penduduk setempat daripada dibawa pulang ke China untuk menjemput kematian karena hukuman mati Kaisar.

Dengan berbagai latar belakang ini, dipercaya berbagai sumber sejarah, bahwa perkembangan pendatang dari China ini awalnya dimulai di pesisir pantai utara Jawa. Pasukan dan awak kapal yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho juga terdiri dari berbagai jenis manusia, agama, budaya dan pendidikan. Agama yang mayoritas di rombongan besar Laksamana Cheng Ho ketika itu adalah agama Buddha sementara pemimpin tertinggi alias panglimanya si Laksamana Cheng Ho adalah pemeluk Islam yang taat, dan menurut sumber-sumber sejarah, beliau ini sudah menuntaskan kewajiban haji. Karena berbagai jenis latar belakang inilah, maka pembauran dengan penduduk setempat yang ketika itu masih kental sekali animisme, dinamisme, dan Kejawen’nya berjalan dengan lancar. Penyebaran pertama Islam di pulau Jawa dipercaya sudah dimulai di masa itu, jauh sebelum Wali Sanga, demikian juga berdampingan dengan Islam, agama Buddha juga berkembang dengan subur di bumi Nusantara.

Perayaan Imlek sendiri mulai dikenal penduduk setempat, yang jelas merasa sebagai sesuatu yang benar-benar baru, aneh, dan menyenangkan. Adaptasi berjalan dengan cepat. Selayaknya pendatang, mereka juga memperkenalkan segala jenis budaya, pengajaran, makanan, dan pengetahuan lain seiring dengan pembelajaran mereka sendiri dengan kebiasaan setempat. Termasuk rangkaian dalam setahun menurut penanggalan Imlek diperkenalkan dan disesuaikan dengan kebiasaan penduduk setempat. Mulai dari hari pertama Sincia atau Imlek, yang aslinya dari China adalah perayaan menyambut musim semi (春节), tapi karena di negeri tropis yang tidak akan pernah mengalami “winter”, nama chun jie (baca: juen cie, menyambut musim semi) tidak pernah dikenal dalam menyebut perayaan Tahun Baru Imlek. Yang dikenal adalah “Imlek” atau “Sincia”. Demikian juga dengan penutup rangkaian perayaan tahun baru Imlek ini yang di tempat asalnya disebut dengan Yuan Xiao Jie (元宵节, baca: yuen siau cie) tidak pernah dikenal di Indonesia, karena pemaknaan yang sedikit berbeda, apalagi tidak akan pernah dikenal dengan nama Shang Yuan Jie (上元节, baca: shang yuen cie). Untuk menyederhanakan sebutan, di kemudian hari kemudian disebut dengan Cap Go Meh, yang diambil dari dialek Hokkian, yang artinya “malam ke 15” alias malam bulan purnama menurut penanggalan Imlek. Sederhana, gampang diingat dan mudah dipahami oleh semua orang, dibanding dengan sarat dan dalamnya makna serta cerita di belakang nama “resmi” Yuan Xiao Jie.

Perayaan aslinya sendiri yang menggunakan makanan simbolis (元宵) atau ronde, yang menyimbolkan kerageman (kesatuan) keluarga, karena terbuat dari tepung ketan. Menurut perkiraan saya, pada masa itu, mungkin saja beras ketan sudah dikenal di masyarakat luas (note: sampai dengan tulisan ini ditulis belum pernah diadakan penelitian pola makan, makanan, ataupun budaya makan di masa abad 14-16 di Nusantara ini, khususnya di Jawa). Walaupun demikian, makanan yang terbuat dari beras ketan ditumbuk kemudian dibulatkan sehingga kenyal rasanya akan terlihat aneh bagi penduduk lokal.

Untuk mengakrabkan dan memperlancar proses asimilasi, para pendatang ini berkreasi dengan makanan pokok yang sudah ada sejak dulu kala yaitu beras nasi. Untuk menggenapkan dan memenuhi persyaratan menyambut bulan purnama dibuatlah lontong yang berbentuk bulat juga. Teknik membuat lontong ini dipercaya diadaptasi dari teknik pembuatan bakcang/kicang yang sudah ada ribuan tahun. Untuk pelengkap hidangan tadi sekaligus untuk menghormati Laksamana Cheng Ho yang seorang Muslim, dikreasikan lagi pendamping lontong tadi dengan “sup” ayam modifikasi dan silang budaya antara pendatang dan penduduk asli, menggunakan rempah-rempah yang memang sudah ada dan digunakan sejak lama di bumi Nusantara ini, ditambahkan santan, dsb, bisa jadi inilah asal mula masakan opor.

Sampai saat ini, tidak ada satupun peneliti kuliner dan referensi yang bisa menjelaskan “opor ayam” itu berasal dari mana, sejak kapan ada di Indonesia, siapa penemunya, siapa peramu awalnya, mulai kapan menyebar hampir di seluruh wilayah Nusantara, tidak seorangpun yang tahu, hanya disebutkan “resep warisan leluhur”. Praduga inipun hanya berdasarkan imajinasi saya sendiri, didasari beberapa referensi baik ilmiah maupun fiksi ilmiah, sehingga tulisan ini lebih merupakan fiksi ilmiah daripada suatu hasil penelitian ilmiah yang sahih dan akurat.



Lontong cap go meh sangat lezat...jika anda sudah pernah memakannya pasti akan sependapat dengan saya ataupun belum pernah memakannya cobalah Lontong Cap Go MEh dan menurut saya Lontong cap go meh paling lezat ya di Semarang atau bikinan mama saya..hahaha....
THank You

referensi :
# Gevin Menzies: 1421 The Year China Discovered The World, Bantam Press 2003
# Remy Sylado: Sam Po Kong, Gramedia Pustaka Utama 2004
# Liem Thian Joe: Riwayat Semarang, Hasta Wahana 2004

http://rdroege.multiply.com/journal/item/69/LONTONG_CAP_GO_MEH_
http://www.tionghoa.com/71/perayaan-tahun-baru-imlek/comment-page-1/
http://community.kompas.com/read/artikel/2318

No comments:

Post a Comment